16) ORANG YANG MELAWAN #1 “SAHAT’S RECYCLE TIRE”

 34072_1370411740338_3719648_nimage(2)DSCF1468 fotoimage(3)  1

(Anak-anakku, siapa bilang kalian tidak boleh bercita-cita? Mari, bolehlah tengok sosok-sosok yang suka ‘melawan’ yang dulu cita-citanya pun sering diremehkan berikut ini..)

Ibu yang berbaju kebaya ungu di atas adalah Menteri Perdagangan Indonesia (waktu itu) Ibu Mari Elka Pangestu, yang berkunjung ke Sapporo pada tahun 2011. Dan siapakah sosok-sosok berjas hitam itu? Itulah yang akan saya bahas di sini. Di gambar itu ada empat sosok perantau asal Indonesia yang memilih Hokkaido sebagai tempat untuk  mencari jawab atas tanya tentang sebuah kemungkinan bahwa mimpi pun bisa jadi bukan sekedar mimpi. Sebenarnya, banyak orang Indonesia yang berbisnis di Hokkaido sini, tapi berhubung yang paling sering saya bertemu dan ngobrol adalah empat sosok ini, dengan tidak mengesampingkan apresiasi saya pada para usahawan asal Indonesia yang lain, saya memilih untuk mengangkat empat sosok saja terlebih dahulu sebagai cakrawala baru bagi anak-anak terkasih saya di Ngawi sana, dan umumnya para pecinta ‘kecapekan’ di Indonesia..

Sosok pertama yang ingin saya bahas untuk wawasan baru bagi anak-anak saya di sini usianya sebaya dengan saya, sehingga saat saya dengar kisahnya, saya bisa merasakan seperti apa keadaan dunia pada usia segitu. Beliau adalah Brother Sahat Doras Situmorang. Di usianya yang belum genap 30 tahun, Pak Sahat sudah menjalankan sebuah perusahaan ekspor ban ke Rusia, Afrika, Hongkong, dll. Tapi jalan yang harus ditempuh hingga sampai hari ini sangatlah tidak mudah.

Selepas lulus SMA pada Juni 2001 (saya lulus tahun 2000), Sahat muda nekat keluar dari Jakarta dan merantau ke Bali. Harusnya dia tinggal bersama saudara jauhnya, Sahat muda lebih memilih untuk tidur numpang2 cari gratisan di tempat para tourist-guide. Dari sana, Sahat muda terpacu semangatnya untuk belajar bahasa asing. Berhubung turis Jepang banyak di Bali, mulailah Sahat muda belajar otodidak bahasa Jepang. Dan dengan cepat, Sahat muda menguasainya (saat mendengar ceritanya waktu itu, saya yang guru Bahasa Inggris tidak kaget dengan kecepatan Bang Sahat ini dalam menguasai bahasa asing karena menurut saya Bang Sahat ini memang punya bakat linguistik). Ditambah gesture yang dinamis dan penampilan yang tidak bisa dikata jelek, Sahat muda menjalani hari-harinya sebagai tourist-guide sistem komisi, artinya bayarannya adalah komisi yang diterima dari toko/tempat usaha dimana turis yang dipandunya belanja2 atau sewa alat permainan. Dengan kata lain, Sahat muda tidak mendapat bayaran dari turisnya secara langsung. Kehidupan semacam ini meskipun memang banyak uang lama-lama membuat Sahat muda berpikir untuk mencari kehidupan yang lebih mapan.

Pada saat itu juga, ada seorang gadis Jepang yang kebetulan dipandunya sepertinya ada perhatian lain pada sang pemandu. Dan singkat cerita, mulailah petualangan penuh spekulasi diambil oleh Sahat muda. Pada usia 19 tahun, di tahun 2002, berangkatlah Sahat muda ke Kota Sapporo, Pulau Hokkaido, Jepang. Hari itu juga Sahat muda mendarat di Sapporo, hari itu juga Sahat muda dan gadis Jepang ini (yang sekarang adalah Nyonya Sahat) menikah di Masjid Sapporo. Sebuah keputusan yang sangat spekulatif namun tentunya didasari pemikiran dan kesadaran akan tanggung jawab yang masak-masak.

Usia 19 tahun tapi sudah menikah, di negeri orang, menjadi seorang menantu namun tanpa pekerjaan tetap dan adaptasi di tengah salju menggunung adalah tantangan di tahun pertama Sahat muda. Dan pada usia 20 tahun, resmilah Sahat muda menjadi Pak Sahat, seorang ayah, dengan kelahiran putra pertamanya. Bagi saya, itu sebuah hal yang luar biasa berat tekanannya, melihat pola hidup yang ketat di Jepang. Tahun awal kelahiran sang putra, dengan tekanan hidup yang mendera sebagai seorang ayah dan suami, pada suatu ketika Pak Sahat pun akhirnya jatuh ke titik nadhir semangat dan orientasi. “Ini bukan saya. Kalau sekedar untuk bisa bertahan hidup alias hanya bisa makan, ngapain juga saya jauh-jauh ke Jepang?’ tanya Pak Sahat pada dirinya sendiri. Lalu Pak Sahat ijin pada sang Istri untuk pulang ‘bersemedi’ ke Indonesia barang 3 bulan. Sang Istri mengijinkan. Di Indonesia, setelah melewati proses perenungan, mengalami proses kerinduan pada anak dan setelah menemukan lahan baru untuk dikerjakan, kembalilah Pak Sahat yang belum jadi apa-apa ini ke Sapporo.

Pada saat itu, ekonomi Jepang masih kuat-kuatnya. Mobil banyak dibuang begitu saja oleh yang punya (hingga hari ini juga!), dianggap sampah, padahal itu masih bagus sekali keadaannya. Oleh orang-orang Pakistan, Afghanistan dan beberapa orang dari negara lain waktu itu, mobil-mobil itu diminta. Tentu saja orang Jepang senang waktu itu karena itu berarti bahwa mereka tidak perlu bayar ke pemerintah kota (buang mobil = bayar sejumlah uang untuk biaya sampah), lha wong sudah ditampung oleh orang-orang pengusaha mobil bekas tadi. Dan oleh pengusaha Pakistan tadi, mobil tadi dipotong-potong dan diekspor ke luar negeri. Dan hingga sekarang, kaya rayalah pengusaha-pengusaha Pakistan, Afghan, Senegal, dsb, dsb itu. Kebetulan salah satu pemain penting dalam usaha pemotongan mobil ini adalah orang Indonesia juga. Di sinilah jalan Pak Sahat terbuka. Pak Sahat ditawari untuk menampung ban-bannya. Saat memulai usaha ini, Pak Sahat mendapat tentangan dari keluarga istrinya, karena memang waktu itu belum ada pemain ban di sana yang menampung ban-ban dari industri pemotongan mobil. Tapi, Pak Sahat tetap melangkah. Sendirian, Pak Sahat berkeliling dengan minivannya mengangkut dan melepasi velg lalu merapikan ban-ban yang kualitasnya sebenarnya bagus-bagus tapi terlanjur dipretheli dari mobilnya itu. Sendirian, penuh kerja fisik..

Musim dingin pertamanya, ban-ban musim dingin yang dikumpulkan Pak Sahat dibeli oleh orang Rusia. Ekspor pertamanya sukses. Sejak itulah, di tahun 2003, di usia 22 tahun, Pak Sahat menjadi jutawan dadakan. Pada seusia semuda itu, dengan uang minimal 200 juta rupiah per bulan, apapun bisa dilakukan di Sapporo.  Mulailah gaya hidup Bang Sahat ini mengalami warna-warni, mulai diincar mafia Jepang, hingga disorientasi bingung bagaimana menghabiskan uangnya. Meskipun begitu Bang Sahat tidak lupa untuk melebarkan sayap bisnisnya. Mulailah Bang Sahat merekrut pekerja asli Jepang, menyewa gudang, membeli banyak mobil operasional, dll. Dan lagi-lagi kecerdasan linguistiknya teruji. Karena harus sering bertemu pengusaha Rusia, Bang Sahat mengambil kursus bahasa Rusia. Saya melihat sendiri sangat lancarnya Bang Sahat ini berbicara Rusia karena waktu saya main-main ke toko etalase bannya, ada Mas Sergei, si Tampan asal Rusia yang sedang beli barang untuk dikirim ke Rusia.

Muda, kaya, warna-warni, ibarat pohon yang semakin tertiup angin kencang. Dan pertolongan Allah SWT datang.. Tahun 2005-2007, terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat yang disebabkan oleh Lehman Brothers. Dampaknya pun sangat terasa di Jepang. Bang Sahat mengalami kerugian beratus2 juta rupiah. Pengusaha pemotongan mobil lebih parah lagi, rugi milyaran rupiah karena proses ekspor tersendat hampir macet. Terpaan badai ekonomi membuat Bang Sahat lebih realistis dalam mengelola keuangan bisnisnya, pada akhirnya.  Dan keadaan ini semakin dimantapkan dengan keputusan untuk berhaji ke Mekkah, lalu ‘memaksa’ dirinya untuk menjalankan status sebagai bendahara masjid Sapporo.

Saya menulis ini bukan untuk menghiperboliskan sebuah keadaan. Pun juga bukan karena saya sangat sering ditraktir oleh Bang Sahat seperti saat habis saya wawancara waktu itu. Alasannya sederhana: ada anak-anak saya di Ngawi sana, ada pemuda-pemudi di pelosok Indonesia sana, yang ada baiknya diberi sedikit pemicu untuk sebuah ledakan untuk melejitkan roket-roket diri mereka…

Hmm.. saatnya menikmati gurita mentah ala Jepang ini, dengan balutan eksekusi transaksi ala Bang Sahat… Ingat pepatah Bang Sahat, “Berbagi lunch dengan orang Rusia adalah membuka pintu rezeki… ”

DSCF1494 DSCF1497 DSCF1498 DSCF1487 DSCF1473 DSCF1488

5 thoughts on “16) ORANG YANG MELAWAN #1 “SAHAT’S RECYCLE TIRE”

  1. “SAHAT’S RECYCLE TIRE” keren emang…. saya telah melihat perjuangannya Mas Sahat…. dari menjadi guide di Bali dan harus ke jepang…. tidak hanya ban bekas tapi juga bikin warung kita “khas Indonesia”…. semua telah saya lihat tadi pagi (10/03/2013) di Metro TV acara kokoronotomo…. Mas Sahat bisa menjadi inspirasi saya dan seluruh rakyat Indonesia… semangat…. dan taklupa maturnuwun… si empunya blog ini salam kenal…

    • Salam kenal juga, Mas. Saya juga banyak belajar dari perjalanan2 bapak/ibu di sini. Minimalnya, semoga tiap-tiap diri kita senantiasa layak menginspirasi orang2 terdekat kita untuk sebuah kemajuan.

Leave a comment